Sejarah Hukum Adat
Hukum Adat adalah hukum
yang berupa kebiasaan masyarakat namun memiliki akibat hukum bagi pemeluknya.
Hukum adat juga memiliki salah satu ciri yaitu tidak terkodifikasi dalam bentuk
kitab ataupun bentuk lain yang baku.
Tentunya dengan sistem non-statuter seperti ini akan menyulitkan para hakim
yang akan membawahi perkara adat. Sesuai dengan teori fictie dimana seseorang
dianggap sudah paham akan hukum yang berlaku maupun ius curia novit dimana
hakim dianggap sudah tahu akan hukumnya dan tidak boleh menolak perkara
tentunya akan sangat menyulitkan dimana seorang hakim bukanlah anggota sebuah
masyarakat adat ataupun mungkin bukan orang asli daerah tersebut.
Pertama,
secara sosiologis tentunya masyarakat adat berbeda dengan masyarakat modern, yaitu perbedaan antara gemeinschaft dengan gesselschaft. Saya akan menerangkan terlebih dahulu mengapa saya memilih terminologi gemeinschaft/paguyuban untuk dipasangkan kepada masyarakat adat. Gemeinschaft memiliki beberapa ciri yaitu hubungan berdasarkan perasaan keakraban atau kasih sayang, terdapat ikatan batin yang kuat, masyarakatnya homogen, dan memegang teguh adat lama yang konservatif. Jelaslah masyarakat adat memiliki ciri-ciri tersebut dan dengan ciri-ciri tersebut terbentuklah pola pikir tradisional yang tentunya memberikan jalan luas kepada kepatuhan terhadap hukum adat. Salah satu ciri hukum adat adalah hanya dipatuhi oleh suatu masyarakat adat tertentu, tentunya masyarakat adat yang dimaksud adalah yang memiliki ciri gemeinschaft yaitu memegang teguh adat lama yang konservatif sehingga bagi anggota masyarakat yang tidak memegang teguh adat tersebut atau melanggarnya akan dijatuhi sanksi adat. Ciri gemeinschaft yaitu ikatan batin yang kuat serta masyarakat yang homogen akan membentuk pola pikir kolektif serta moral komunal yang sejenis, sehingga orang yang menyimpang/deviant dari hukum adat yang berlaku maka akan dapat disanksi dikarenakan seluruh masyarakat telah setuju dengan penetapan sanksi tersebut.
secara sosiologis tentunya masyarakat adat berbeda dengan masyarakat modern, yaitu perbedaan antara gemeinschaft dengan gesselschaft. Saya akan menerangkan terlebih dahulu mengapa saya memilih terminologi gemeinschaft/paguyuban untuk dipasangkan kepada masyarakat adat. Gemeinschaft memiliki beberapa ciri yaitu hubungan berdasarkan perasaan keakraban atau kasih sayang, terdapat ikatan batin yang kuat, masyarakatnya homogen, dan memegang teguh adat lama yang konservatif. Jelaslah masyarakat adat memiliki ciri-ciri tersebut dan dengan ciri-ciri tersebut terbentuklah pola pikir tradisional yang tentunya memberikan jalan luas kepada kepatuhan terhadap hukum adat. Salah satu ciri hukum adat adalah hanya dipatuhi oleh suatu masyarakat adat tertentu, tentunya masyarakat adat yang dimaksud adalah yang memiliki ciri gemeinschaft yaitu memegang teguh adat lama yang konservatif sehingga bagi anggota masyarakat yang tidak memegang teguh adat tersebut atau melanggarnya akan dijatuhi sanksi adat. Ciri gemeinschaft yaitu ikatan batin yang kuat serta masyarakat yang homogen akan membentuk pola pikir kolektif serta moral komunal yang sejenis, sehingga orang yang menyimpang/deviant dari hukum adat yang berlaku maka akan dapat disanksi dikarenakan seluruh masyarakat telah setuju dengan penetapan sanksi tersebut.
Sebaliknya, masyarakat
modern yang berciri gesselschaft atau patembayan memiliki beberapa ciri yaitu
hubungan anggotanya bersifat formal, memiliki orientasi ekonomi,
memperhitungkan nilai guna, dan rasional. Dengan ciri-ciri tersebut tentunya
masyarakat modern memerlukan sebuah hukum yang bersifat universal dan
terkodifikasi untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah diantara anggota
masyarakat modern. Tentunya ketika hubungan anggota masyarakat modern
bersifat formal memerlukan sebuah hukum perikatan yang bersifat formal dan
universal juga dan yang tidak bersifat kedaerahan maupun kesukuan dikarenakan
ikatan formal bukanlah ikatan secara kedaerahan ataupun kesukuan namun lebih
kepada arah kepentingan ekonomi, politik maupun kepentingan lain non-primordial
tiap anggotanya. Orientasi ekonomi tentunya memerlukan sebuah hukum dagang,
perbankan maupun ekonomi yang terkodifikasi untuk memperlancar kegiatan ekonomi
anggota masyarakat gesselschaft. Masyarakat gesselschaft mempercayai rasio
dibandingkan dengan pemikiran metafisik ataupun magis, sehingga mereka juga
membutuhkan hukum yang rasional dimana deviant/penyimpang mendapatkan sanksi
yang tegas secara fisik, bukan magis.
Secara hukum, hukum
adat maupun hukum barat sangatlah berbeda, mengambil dari buku Sketsa Asas
Hukum Adat karangan Prof Imam Sudiyat S.H. seorang guru besar Universitas Gajah
Mada, hal itu dikarenakan perbedaan aliran pemikiran orang Indonesia dengan
orang Barat dimana orang Barat meyakini bahwa tiap individu merupakan
pusat kepentingan hukum, sehingga nyawa, kemerdekaan, dan harta bendanya harus
dilindungi oleh negara, sedangkan orang Indonesia meyakini bahwa pokok dari
segala penyelenggaraan hukum bukanlah orang selaku individu namun masyarakat
persekutuan; sehingga tiap orang dibedakan dalam penting atau tidaknya di dalam
persekutuan tersebut.
Kita dapat melihat
perbedaan ini di dalam kitab-kitab undang-undang buatan barat dimana yang
diatur adalah manusia secara perseorangan dan hubungannya dengan publik/negara
maupun privat/manusia lain, sedangkan hukum adat lebih kepada mengatur tata
cara anggota masyarakat berperilaku maupun bertindak sebagai sebuah anggota
kesatuan masyarakat adat, semisal hukum barat di dalam KUHP orang dilarang
bertindak sendiri untuk menegakkan hukum yang dilanggar semisal menghajar orang
yang telah tertangkap tangan mencuri atau merampok, namun di dalam hukum adat
ada beberapa hukum adat yang membolehkan hal ini semacam di daerah Batak dimana
ketika ada orang yang melarikan wanita maka orang yang mengetahui kejadian
tersebut boleh mengungkung si pelaku dengan kayu sampai kerabatnya membayar
denda adat, hal ini disebut dengan “mambe-ongkon”.
Perbedaan lagi adalah
ketika hukum Barat bersifat rasional dan hukum Adat bersifat religio-magis,
contohnya adalah tentang santet, tenung, maupun sihir. Dalam KUHP kita tidak
mengenal sihir, santet ataupun tenung, namun di dalam masyarakat adat ketika
ada seseorang yang dicurigai menggunakan sihir maka dalam adat Jawa akan
dilakukan ritual sumpah pocong dimana ia dipaksa untuk bersumpah dengan
menggunakan kain kafan atau dikenal dengan kain pocong. Sumpah ini dipercaya
memiliki kekuatan magis dan orang yang berbohong ketika bersumpah diyakini akan
menjemput ajalnya dengan cepat beberapa saat setelah melakukan sumpah tersebut.
Sampai sekarang masih
belum ada hukum adat yang menjadi pre-existente regels di Indonesia sehingga
hakim perlu untuk mencari sendiri hukum yang harus diterapkan kepada sebuah
kasus adat dengan cara mengambil dari yurisprudensi ataupun berkonsultasi
kepada ketua adat sebuah masyarakat adat maupun ilmuwan yang meneliti tentang
sebuah masyarakat adat.
Melihat dari perbedaan
di atas serta keadaan dimana hukum adat sangat berbeda satu sama lain serta
memiliki ciri yang sangat berbeda dengan hukum barat serta fakta dimana banyak
masyarakat adat yang berusaha menyelesaikan permasalahannya dihadapan
pengadilan negeri kami melihat sebuah urgensi untuk kodifikasi hukum adat di Indonesia.
Rasionalisasi dari
pernyataan kami adalah ketika seorang hakim dari daerah berbeda, misalkan hakim
tersebut adalah orang Jakarta lalu ia bertugas di daerah Kalimantan Timur
dimana ia harus mengadili sebuah perkara adat Kalimantan Timur tentunya ia akan
perlu waktu untuk mempelajari hukum adat Kalimantan Timur kepada ketua adat
maupun ilmuwan yang meneliti tentang adat Kalimantan Timur. Hal ini berlawanan
dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, dikarenakan untuk
belajar adat daerah Kalimantan Timur memerlukan waktu, yaitu berlawanan dengan
asas cepat, lalu tidak sederhana dikarenakan perlu memanggil ketua adat maupun ilmuwan
sebagai konsultan dan tentunya tidak ringan biaya yang dikeluarkan untuk
mereka.
Tentunya kami telah
menimbang baik plus maupun minus pernyataan kami ini. Resiko dari
pengkodifikasian hukum adat adalah memakan waktu lama, biaya yang besar baik
dari pengumpulan data empiris maupun riset ke daerah adat dikarenakan Indonesia
memiliki masyarakat yang majemuk yang telah diringkas oleh Prof Van Vollenhoven
menjadi 19 golongan masyarakat adat walaupun sebenarnya masih banyak masyarakat
adat yang belum dimasukkan kedalam golongan tersebut. Ditambah lagi, biaya
untuk legislatif membentuk kodifikasi cukup besar baik dari gaji maupun
tunjangan lain-lain bagi mereka.
Namun, kami rasa bahwa
kodifikasi walau sedikit-sedikit terlebih dahulu akan memberikan efek jangka
panjang yang baik bahwa hakim tidak perlu kesusahan ketika mengadili sebuah
perkara adat dan mempersingkat waktu pengadilan maupun biaya yang akan
dikeluarkan oleh negara ketika mengadili perkara adat serta membuat hukum
nasional lebih memberikan kepastian hukum maupun kemanfaatan bagi masyarakatnya
walau mengorbankan salah satu ciri hukum adat Indonesia yaitu non statutory
law.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda