keadilan agraria

Kamis, 19 Desember 2013

Sejarah Hukum Adat



Sejarah Hukum Adat

Hukum Adat adalah hukum yang berupa kebiasaan masyarakat namun memiliki akibat hukum bagi pemeluknya. Hukum adat juga memiliki salah satu ciri yaitu tidak terkodifikasi dalam bentuk kitab ataupun bentuk lain yang baku. Tentunya dengan sistem non-statuter seperti ini akan menyulitkan para hakim yang akan membawahi perkara adat. Sesuai dengan teori fictie dimana seseorang dianggap sudah paham akan hukum yang berlaku maupun ius curia novit dimana hakim dianggap sudah tahu akan hukumnya dan tidak boleh menolak perkara tentunya akan sangat menyulitkan dimana seorang hakim bukanlah anggota sebuah masyarakat adat ataupun mungkin bukan orang asli daerah tersebut.
Pertama,
secara sosiologis tentunya masyarakat adat berbeda dengan masyarakat modern, yaitu perbedaan antara gemeinschaft dengan gesselschaft. Saya akan menerangkan terlebih dahulu mengapa saya memilih terminologi gemeinschaft/paguyuban untuk dipasangkan kepada masyarakat adat. Gemeinschaft memiliki beberapa ciri yaitu hubungan berdasarkan perasaan keakraban atau kasih sayang, terdapat ikatan batin yang kuat, masyarakatnya homogen, dan memegang teguh adat lama yang konservatif. Jelaslah masyarakat adat memiliki ciri-ciri tersebut dan dengan ciri-ciri tersebut terbentuklah pola pikir tradisional yang tentunya memberikan jalan luas kepada kepatuhan terhadap hukum adat. Salah satu ciri hukum adat adalah hanya dipatuhi oleh suatu masyarakat adat tertentu, tentunya masyarakat adat yang dimaksud adalah yang memiliki ciri gemeinschaft yaitu memegang teguh adat lama yang konservatif sehingga bagi anggota masyarakat yang tidak memegang teguh adat tersebut atau melanggarnya akan dijatuhi sanksi adat. Ciri gemeinschaft yaitu ikatan batin yang kuat serta masyarakat yang homogen akan membentuk pola pikir kolektif serta moral komunal yang sejenis, sehingga orang yang menyimpang/deviant dari hukum adat yang berlaku maka akan dapat disanksi dikarenakan seluruh masyarakat telah setuju dengan penetapan sanksi tersebut.
Sebaliknya, masyarakat modern yang berciri gesselschaft atau patembayan memiliki beberapa ciri yaitu hubungan anggotanya bersifat formal, memiliki orientasi ekonomi, memperhitungkan nilai guna, dan rasional. Dengan ciri-ciri tersebut tentunya masyarakat modern memerlukan sebuah hukum yang bersifat universal dan terkodifikasi untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah diantara anggota masyarakat modern.  Tentunya ketika hubungan anggota masyarakat modern bersifat formal memerlukan sebuah hukum perikatan yang bersifat formal dan universal juga dan yang tidak bersifat kedaerahan maupun kesukuan dikarenakan ikatan formal bukanlah ikatan secara kedaerahan ataupun kesukuan namun lebih kepada arah kepentingan ekonomi, politik maupun kepentingan lain non-primordial tiap anggotanya. Orientasi ekonomi tentunya memerlukan sebuah hukum dagang, perbankan maupun ekonomi yang terkodifikasi untuk memperlancar kegiatan ekonomi anggota masyarakat gesselschaft. Masyarakat gesselschaft mempercayai rasio dibandingkan dengan pemikiran metafisik ataupun magis, sehingga mereka juga membutuhkan hukum yang rasional dimana deviant/penyimpang mendapatkan sanksi yang tegas secara fisik, bukan magis.
Secara hukum, hukum adat maupun hukum barat sangatlah berbeda, mengambil dari buku Sketsa Asas Hukum Adat karangan Prof Imam Sudiyat S.H. seorang guru besar Universitas Gajah Mada, hal itu dikarenakan perbedaan aliran pemikiran orang Indonesia dengan orang Barat  dimana orang Barat meyakini bahwa tiap individu merupakan pusat kepentingan hukum, sehingga nyawa, kemerdekaan, dan harta bendanya harus dilindungi oleh negara, sedangkan orang Indonesia meyakini bahwa pokok dari segala penyelenggaraan hukum bukanlah orang selaku individu namun masyarakat persekutuan; sehingga tiap orang dibedakan dalam penting atau tidaknya di dalam persekutuan tersebut.
Kita dapat melihat perbedaan ini di dalam kitab-kitab undang-undang buatan barat dimana yang diatur adalah manusia secara perseorangan dan hubungannya dengan publik/negara maupun privat/manusia lain, sedangkan hukum adat lebih kepada mengatur tata cara anggota masyarakat berperilaku maupun bertindak sebagai sebuah anggota kesatuan masyarakat adat, semisal hukum barat di dalam KUHP orang dilarang bertindak sendiri untuk menegakkan hukum yang dilanggar semisal menghajar orang yang telah tertangkap tangan mencuri atau merampok, namun di dalam hukum adat ada beberapa hukum adat yang membolehkan hal ini semacam di daerah Batak dimana ketika ada orang yang melarikan wanita maka orang yang mengetahui kejadian tersebut boleh mengungkung si pelaku dengan kayu sampai kerabatnya membayar denda adat, hal ini disebut dengan “mambe-ongkon”.
Perbedaan lagi adalah ketika hukum Barat bersifat rasional dan hukum Adat bersifat religio-magis, contohnya adalah tentang santet, tenung, maupun sihir. Dalam KUHP kita tidak mengenal sihir, santet ataupun tenung, namun di dalam masyarakat adat ketika ada seseorang yang dicurigai menggunakan sihir maka dalam adat Jawa akan dilakukan ritual sumpah pocong dimana ia dipaksa untuk bersumpah dengan menggunakan kain kafan atau dikenal dengan kain pocong. Sumpah ini dipercaya memiliki kekuatan magis dan orang yang berbohong ketika bersumpah diyakini akan menjemput ajalnya dengan cepat beberapa saat setelah melakukan sumpah tersebut.
Sampai sekarang masih belum ada hukum adat yang menjadi pre-existente regels di Indonesia sehingga hakim perlu untuk mencari sendiri hukum yang harus diterapkan kepada sebuah kasus adat dengan cara mengambil dari yurisprudensi ataupun berkonsultasi kepada ketua adat sebuah masyarakat adat maupun ilmuwan yang meneliti tentang sebuah masyarakat adat.
Melihat dari perbedaan di atas serta keadaan dimana hukum adat sangat berbeda satu sama lain serta memiliki ciri yang sangat berbeda dengan hukum barat serta fakta dimana banyak masyarakat adat yang berusaha menyelesaikan permasalahannya dihadapan pengadilan negeri kami melihat sebuah urgensi untuk kodifikasi hukum adat di Indonesia.
Rasionalisasi dari pernyataan kami adalah ketika seorang hakim dari daerah berbeda, misalkan hakim tersebut adalah orang Jakarta lalu ia bertugas di daerah Kalimantan Timur dimana ia harus mengadili sebuah perkara adat Kalimantan Timur tentunya ia akan perlu waktu untuk mempelajari hukum adat Kalimantan Timur kepada ketua adat maupun ilmuwan yang meneliti tentang adat Kalimantan Timur. Hal ini berlawanan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, dikarenakan untuk belajar adat daerah Kalimantan Timur memerlukan waktu, yaitu berlawanan dengan asas cepat, lalu tidak sederhana dikarenakan perlu memanggil ketua adat maupun ilmuwan sebagai konsultan dan tentunya tidak ringan biaya yang dikeluarkan untuk mereka.
Tentunya kami telah menimbang baik plus maupun minus pernyataan kami ini. Resiko dari pengkodifikasian hukum adat adalah memakan waktu lama, biaya yang besar baik dari pengumpulan data empiris maupun riset ke daerah adat dikarenakan Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk yang telah diringkas oleh Prof Van Vollenhoven menjadi 19 golongan masyarakat adat walaupun sebenarnya masih banyak masyarakat adat yang belum dimasukkan kedalam golongan tersebut. Ditambah lagi, biaya untuk legislatif membentuk kodifikasi cukup besar baik dari gaji maupun tunjangan lain-lain bagi mereka.
Namun, kami rasa bahwa kodifikasi walau sedikit-sedikit terlebih dahulu akan memberikan efek jangka panjang yang baik bahwa hakim tidak perlu kesusahan ketika mengadili sebuah perkara adat dan mempersingkat waktu pengadilan maupun biaya yang akan dikeluarkan oleh negara ketika mengadili perkara adat serta membuat hukum nasional lebih memberikan kepastian hukum maupun kemanfaatan bagi masyarakatnya walau mengorbankan salah satu ciri hukum adat Indonesia yaitu non statutory law.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda