keadilan agraria

Sabtu, 28 Desember 2013

Sejarah Hukum Adat


Tugas
Resume Sejarah Hukum Adat





Disusun Oleh:
Yusri arafat
NIM:12210033


UNIVERSITAS PALEMBANG TAHUN AJARAN 2012/2013

Sejarah Hukum Adat

Pengertian Hukum Adat

Hukum Adat adalah hukum yang berupa kebiasaan masyarakat namun memiliki akibat hukum bagi pemeluknya. Hukum adat juga memiliki salah satu ciri yaitu tidak terkodifikasi dalam bentuk kitab ataupun bentuk lain yang baku.Banyak pengertian atau difinisi Hukum Adat yang telah ditulis oleh para ahli Hukum Adat.

Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut hukum) dan di lain pihak, dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena  itu disebut adat).

Menurut Soepomo, istilah Hukum Adat dipakai sebagai sinonim hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legeslatif  (non statutory law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan seterusnya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary law).

Hazairin menyatakan, bahwa dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat maka Hukum Adat adalah hukum yang berurat berakar pada kesusilaan.

Ciri-ciri Hukum Adat

Hukum Adat mempunyai kekhususan yang menjadi ciri-cirinya dan membedakannya dengan hukum lain, yaitu:
1.      Religio magis/ Keagamaan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan hal itu menjiwai hukum yang diciptakannya, yaitu Hukum Adat. Dalam perbuatan hukum seperti pembukaan tanah, perkawinan tampak jelas adanya sifat religius itu
2.      Kebersamaan
Berbeda dengan hukum barat yang berpusat pada individu, maka hukum adat berpusat kepada masyarakat. Kepentingan bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu diliputi oleh kepentingan bersama (bermuatan publik). Hal itu dapat dilihat misalnya pada rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, tanah Karang Desa dan Ayahan Desa di Bali. Namun demikian pengutamaan kepentingan bersama itu bukan berarti kepentingan perorangan diabaikan.
                   
3.      Tradisional
Hukum Adat pada hakekatnya adalah tradisi juga, yaitu praktek kehidupan warga masyarakat dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang dianggap benar oleh norma-norma yang diciptakannya sendiri dan diberi daya memaksa dengan sanksi bagi yang melanggarnya.

4.      Konkrit 
Sifat hubungan hukum dalam Hukum Adat adalah konkrit, artinya nyata, Dapat dirasakan oleh panca indra.

5.      Terang, dan tunai
Terang artinya tidak samar-samar, dapat dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar orang lain, misalnya pada ijab kabul, pemberian panjer dan peningset sebelum terjadinya jual beli dan perkawinan.
Tunai artinya setiap ada perbuatan hukum  terjadi secara bersamaan  
antara  penyerahan dengan penerimaan.

6.      Dinamis dan plastis
Dinamis artinya dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan masyarakat, sedangkan plastis dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.

7.      Tidak dikodifikasi
Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di Bali. Karena bentuknya yang tidak tertulis maka mudah berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya.

8.      Musyawarah dan Mufakat
Hukum Adat mementingkan musyawarah dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan hubungan hukum di dalam keluarga, kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa.
I. Hukum adat masa Pra-kolonial

Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen

Pada zaman Pra-kolonial Hukum Adat dibagi menjadi dua zaman:
  1. Zaman Hindu
Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari zaman Malaio polynesia, yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian.
Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina)
  1. Zaman Islam
Bukti pengaruh Hukum islam masuk
·         Aceh (Kerajaan Pasai dan Perlak)
Pengaruh hukum Islam cukup kuat terhadap hukum adat, terlihat dari setiap tempat pemukiman dipimpin oleh seorang cendekiawan agama yang bertindak sebagai imam dan bergelar Teuku/Tengku
·         Minangkabau dan Batak
Hukum adat pada dasarnya besar tetap bertahan dalam kehidupan sehari-hari, sedang hukum Islam berperan dalam kehidupan keagamaan, dalam hal ini terlihat dalam bidang perkawinan.Pepatah adat : Hukum adat bersendi alur dan patut, hukum agama bersendi kitab Allah.
·         Sumatera Selatan (Palembang/Kukang)
Pada masa Ratu Senuhun Seding, hukum adat dibukukan dalam bahasa Arab Melayu – UU Simbur Cahaya. Di dalamnya memuat istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam, seperti : Khatib Bilal.
·         Lampung
Masuknya Islam disini pada masa Ratu Pugung dimana puterinya yang bernama Sinar Alam melangsungkan perkawinan dengan Syarif Hidayat Fatahillah/sunan Gunung Jati, setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam.

2. Hukum Adat  VOC (1596 – 1608 / 1600 – 1800)
Tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari maskapai
dagang Belanda. Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta (Batavia). Wilayah VOC meliputi daerah di antara laut Jawa dan Samudera Indonesia, dengan batas-batas :
- Sebelah barat : sungai Cisadane
- Sebelah timur : sungai Citarum

Kedudukan VOC pada waktu itu
1. Sebagai pengusaha perniagaan
2. Sebagai penguasa pemerintahan
Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa tulisan-tulisan baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya :

1. Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer
Memuat tentang peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak.
2. Pepakem Cirebon.
Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang bernama pepakem Cirebon yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari hukum adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya Lengkaran, dan lain-lain. Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh hukum adat :

a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelap
b. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor
c. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan
d. Sari : bunga yang harum baunya

Penilaian VOC terhadap hukum adat :
1. Hukum adat identik dengan hukum agama
2. Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.
3. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan)
4. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa.



Kedudukan Hukum Adat pada Masa Pemerintahan Jepang
Hukum Adat pada Masa Pemerintahan Jepang berlaku hukum militer, sedangkan hukum perundangan dan hukum adat tidak mendapat perhatian saat itu. Peraturan pada masa pemerintahan Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum militer.
Ketentuan ini diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :
Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. (dasar hukum adat masa Jepang).

3. Hukum Adat masa pergerakan kebangsaan
Pada tahun 1925 PI mengeluarkan manifesto politik yang berisi tentang tuntutan Indonesia merdeka, wilayah   yang merdeka dan pemberlakuan hukum adat serta menentang hukum kolonial

Para pemimpin Perhimpunan Indonesia menyatakan bahwa organisasinya merupakan organisasi pergerakan nasional. Merekalah yang akan memainkan peran penting sebagai agen pengubah masyarakat dari masyarakat terjajah menjadi masyarakat yang merdeka, bebas dan pintar. Hal ini menunjukkan bahwa Perhimpunan Indonesia sebagai Manifesto politik

4. Hukum Adat masa kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, keberadaan hukum adat masih dipertanyakan terutama berkisar, mampukah hukum adat itu untuk membawa bangsa kearah kemajuan. Mengenai hal ini ada pendapat yang saling bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa ini, apakah kita mengutamakan kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa kebanggaan terhadap rasa nasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan bidang ekonomi, maka hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Tetapi apabila yang diprioritaskan adalah menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat, maka hukum adat itulah yang harus dijadikan sumber hukum nasional.
Perkembangan Di Era 1959-1966
Persoalan yang dihadapi tetap sama yaitu persoalan dalam menentukan hukum apa yang akan digunakan dalam rangka pembentukan hukum nasional. Ada peristiwa yang relevan untuk dikaji dalam rangka pembentukan hukum dikade tersebut. Salah satu peristiwa tersebut adalah pembebasan Irian Barat yang berpengaruh dalam menumbuhkan rasa nasionalisme. Hal ini juga berimbas terhadap hukum, ada rasa kebencian terhadap sesuatu yang bersumber dari barat termasuk hukumnya, sehingga isu hukum adat tetap kuat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Keadaan ini ditambah pula dengan pernyataan Sukarno tanggal 5 Juli 1956 yang menyatakan “Revolusi Belum Selesai”.
Pada awal tahun 1960, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan hukum adat, yaitu :
Pemerintah pada waktu itu mengeluarkan Tap MPR No II/1960 yang menyatakan Hukum adatlah yang dijadikan landasan atau dasar pembentukan hukum nasional.
Dikeluarkan pula UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok agraria. Perhatikan Pasal 5 yang berbunyi :  Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama

 Kemudian diaktifkannya kembali LPHN tahun 1961 (LPHN dibentuk tahun 1958).Tugas LPHN yaitu “Berupaya untuk menciptakan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang bersumber dari hukum adat, namun tetap mengarahkan para upaya pemodernan hukum, agar dapat diterima oleh dunia internasional.



Hukum Adat pada masa orde baru
Pada masa orde baru yang menjadi prioritas adalah pembangunan sektor ekonomi. Rule of law dijalankan namun dengan satu tujuan yaitu untuk peningkatan ekonomi semata – mata. Prinsip yang berkembang adalah “ekonomi Indonesia tidak akan bangkit tanpa bantuan asing”. Asing tidak akan mau menanamkan modal di Indonesia, jika tidak dijamin oleh sektor hukum. Akibatnya hukum harus benar-benar dijalankan. Sehingga muncul istilah tool of social enginering.

Hal ini tentu berpengaruh pada hukum yang ada. Untuk mendukung peningkatan ekonomi tersebut, maka hukum harus sesuai dengan asing, secara otomatis hukum yang dijadikan sumber adalah hukum barat, namun hukum adat tetap digunakan bersama – sama dengan hukum barat. Di era itu hukum banyak yang bersumber dari barat yang masuk ke Indonesia. Misalnya lembaga – lembaga hukum yang bersumber dari Amerika yang sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum adat. Peristiwa yang menonjol pada waktu itu adalah dikeluarkannya Tap MPR No. XX/1966 Tentang hirarki perundang-undangan dan sumber tertib hukum. Dari produk hukum di atas, terlihat bahwa peran eksekutif terlihat lebih menonjol dari legislatif.

Hukum Adat pada masa era Reformasi
Kemudian berlanjut pada era reformasi, di era ini timbul keinginan untuk meninggalkan rasa kejenuhan yang selama ini telah diciptakan. Khusus dibidang hukum rasa kejenuhan itu adalah kejenuhan terhadap produk hukum yang sumbernya dari atas (Top Down), sehingga ada keinginan hukum itu bersumber dari bawah (Bottom Up). Kemudian adanya keinginan untuk perubahan secara cepat dan dapat diberlakukan seketika, temasuk dibidang hukum. Akibatnya, hukum yang diciptakan bersifat pragmatis (hanya untuk kepentingan sesaat) dan bukan dogmatis.
Pada era reformasi ini telah terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Pasal yang berkenaan dengan hukum adat mulai dimasukkan dalam Pasal Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28 ayat 3 UUD 1945 amandemen kedua dan belum mengalami perubahan hingga amandemen keempat. Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur

1.      Adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling)
2.      Adanya pranata pemerintahan adat
3.      Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adapt
4.      Adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur
5.      Adanya wilayah tertentu.

MK juga berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut :
Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;
Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

MK kemudian menyatakan bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pemikiran mengenai peranan hukum adat dalam pembentukan hukum nasional sudah ada sebelum Indonesia merdeka, namun pada saat itu pemikiran tersebut belum dapat diaplikasikan dalam bentuk peraturan. Awal penerapan pemikiran tersebut baru terlihat di awal tahun 1960 dengan dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat hukum adat sempat terlupakan, namun di era sekarang, negara mulai memperhatikan lagi hak-hak masyarakat adat yang sudah terabaikan.



Daftar Pustaka

Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Alumni, Bandung, 1979.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda