Tugas
Resume Sejarah Hukum Adat
Disusun Oleh:
Yusri arafat
NIM:12210033
UNIVERSITAS PALEMBANG TAHUN AJARAN 2012/2013
Sejarah Hukum Adat
Pengertian Hukum Adat
Hukum Adat adalah hukum yang berupa kebiasaan masyarakat namun memiliki
akibat hukum bagi pemeluknya. Hukum adat juga memiliki salah satu ciri yaitu
tidak terkodifikasi dalam bentuk kitab ataupun bentuk lain yang baku.Banyak pengertian atau difinisi Hukum Adat
yang telah ditulis oleh para ahli Hukum Adat.
Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku
positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut hukum) dan
di lain pihak, dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu
disebut adat).
Menurut Soepomo, istilah Hukum Adat dipakai sebagai sinonim hukum yang
tidak tertulis di dalam peraturan legeslatif (non statutory law), hukum yang hidup sebagai konvensi di
badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan seterusnya), hukum yang
timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup
sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di
kota-kota maupun di desa-desa (customary law).
Hazairin menyatakan,
bahwa dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak
selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan
dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah
kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat
maka Hukum Adat adalah hukum yang berurat berakar pada kesusilaan.
Ciri-ciri Hukum Adat
Hukum Adat mempunyai kekhususan yang menjadi
ciri-cirinya dan membedakannya dengan hukum lain, yaitu:
1. Religio magis/
Keagamaan
Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang religius, dan hal itu menjiwai hukum yang diciptakannya, yaitu Hukum Adat.
Dalam perbuatan hukum seperti pembukaan tanah, perkawinan tampak jelas adanya
sifat religius itu
2. Kebersamaan
Berbeda dengan hukum barat
yang berpusat pada individu, maka hukum adat berpusat kepada masyarakat.
Kepentingan bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu diliputi
oleh kepentingan bersama (bermuatan publik). Hal itu dapat dilihat misalnya
pada rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, tanah
Karang Desa dan Ayahan Desa di Bali. Namun demikian pengutamaan
kepentingan bersama itu bukan berarti kepentingan perorangan diabaikan.
3. Tradisional
Hukum Adat pada hakekatnya adalah tradisi juga, yaitu praktek kehidupan
warga masyarakat dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang dianggap benar oleh
norma-norma yang diciptakannya sendiri dan diberi daya memaksa dengan sanksi
bagi yang melanggarnya.
4. Konkrit
Sifat hubungan hukum dalam Hukum Adat adalah konkrit, artinya nyata, Dapat dirasakan oleh panca indra.
5. Terang, dan
tunai
Terang artinya tidak
samar-samar, dapat dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar orang lain,
misalnya pada ijab kabul, pemberian panjer dan peningset sebelum terjadinya
jual beli dan perkawinan.
Tunai artinya setiap ada
perbuatan hukum terjadi secara bersamaan
antara penyerahan dengan
penerimaan.
6. Dinamis
dan plastis
Dinamis artinya dapat
berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan masyarakat, sedangkan
plastis dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.
7. Tidak
dikodifikasi
Hukum Adat kebanyakan
tidak tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di Bali. Karena
bentuknya yang tidak tertulis maka mudah berubah menyesuaikan diri dengan
perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya.
8. Musyawarah
dan Mufakat
Hukum Adat mementingkan
musyawarah dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan hubungan hukum di dalam
keluarga, kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa.
I. Hukum adat masa
Pra-kolonial
Peraturan
adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah
terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam
masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan
adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang
masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama
menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat.
Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi
antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan
hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen
Pada zaman Pra-kolonial Hukum Adat dibagi
menjadi dua zaman:
- Zaman Hindu
Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari
zaman Malaio polynesia, yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang kita masih
memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian.
Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum
agama Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya
dari Cina)
- Zaman Islam
Bukti pengaruh Hukum islam masuk
·
Aceh (Kerajaan Pasai dan Perlak)
Pengaruh hukum Islam cukup kuat terhadap hukum adat, terlihat dari setiap
tempat pemukiman dipimpin oleh seorang cendekiawan agama yang bertindak sebagai
imam dan bergelar Teuku/Tengku
·
Minangkabau dan Batak
Hukum adat pada dasarnya besar tetap bertahan dalam kehidupan
sehari-hari, sedang hukum Islam berperan dalam kehidupan keagamaan, dalam hal
ini terlihat dalam bidang perkawinan.Pepatah adat : Hukum adat bersendi alur
dan patut, hukum agama bersendi kitab Allah.
·
Sumatera Selatan (Palembang/Kukang)
Pada masa Ratu Senuhun Seding, hukum adat
dibukukan dalam bahasa Arab Melayu – UU Simbur Cahaya. Di dalamnya memuat
istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam, seperti : Khatib Bilal.
·
Lampung
Masuknya Islam disini pada masa Ratu Pugung dimana puterinya yang bernama Sinar Alam melangsungkan perkawinan dengan Syarif Hidayat Fatahillah/sunan Gunung Jati, setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam.
Masuknya Islam disini pada masa Ratu Pugung dimana puterinya yang bernama Sinar Alam melangsungkan perkawinan dengan Syarif Hidayat Fatahillah/sunan Gunung Jati, setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam.
2. Hukum Adat
VOC (1596 – 1608 / 1600 – 1800)
Tanggal 20 Maret
1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari maskapai
dagang Belanda.
Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta (Batavia).
Wilayah VOC meliputi daerah di antara laut Jawa dan Samudera Indonesia, dengan batas-batas :
- Sebelah barat : sungai Cisadane
- Sebelah
timur : sungai Citarum
Kedudukan VOC pada waktu itu
1. Sebagai pengusaha perniagaan
2. Sebagai penguasa pemerintahan
Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada
beberapa tulisan-tulisan baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan,
diantaranya :
1. Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer
Memuat tentang peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak.
2. Pepakem Cirebon.
2. Pepakem Cirebon.
Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang
bernama pepakem Cirebon
yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari hukum adat Jawa
yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya
Lengkaran, dan lain-lain. Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim
yang dikehendaki oleh hukum adat :
a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelap
b. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor
c. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan
d. Sari :
bunga yang harum baunya
Penilaian VOC terhadap hukum adat
:
1. Hukum adat identik dengan hukum agama
2. Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.
3. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan)
3. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan)
4. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa.
Kedudukan Hukum Adat pada Masa Pemerintahan
Jepang
Hukum Adat pada Masa Pemerintahan Jepang berlaku hukum militer, sedangkan
hukum perundangan dan hukum adat tidak mendapat perhatian saat itu. Peraturan
pada masa pemerintahan Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan
hukum militer.
Ketentuan ini
diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :
Semua badan-badan
pemerintah dan kekuasaan, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu,
tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer. (dasar hukum adat masa Jepang).
3. Hukum Adat masa pergerakan kebangsaan
Pada tahun 1925 PI
mengeluarkan manifesto politik yang berisi tentang tuntutan Indonesia
merdeka, wilayah yang merdeka dan pemberlakuan hukum adat serta
menentang hukum kolonial
Para pemimpin
Perhimpunan Indonesia
menyatakan bahwa organisasinya merupakan organisasi pergerakan nasional.
Merekalah yang akan memainkan peran penting sebagai agen pengubah masyarakat
dari masyarakat terjajah menjadi masyarakat yang merdeka, bebas dan pintar. Hal
ini menunjukkan bahwa Perhimpunan Indonesia sebagai Manifesto politik
4. Hukum Adat masa kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, keberadaan hukum
adat masih dipertanyakan terutama berkisar, mampukah hukum adat itu untuk
membawa bangsa kearah kemajuan. Mengenai hal ini ada pendapat yang saling
bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa ini, apakah kita
mengutamakan kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa kebanggaan terhadap
rasa nasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan bidang ekonomi,
maka hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum
nasional. Tetapi apabila yang diprioritaskan adalah menumbuhkan rasa kebanggaan
sebagai suatu bangsa yang berdaulat, maka hukum adat itulah yang harus dijadikan
sumber hukum nasional.
Perkembangan Di Era 1959-1966
Persoalan yang dihadapi
tetap sama yaitu persoalan dalam menentukan hukum apa yang akan digunakan dalam
rangka pembentukan hukum nasional. Ada
peristiwa yang relevan untuk dikaji dalam rangka pembentukan hukum dikade
tersebut. Salah satu peristiwa tersebut adalah pembebasan Irian Barat yang
berpengaruh dalam menumbuhkan rasa nasionalisme. Hal ini juga berimbas terhadap
hukum, ada rasa kebencian terhadap sesuatu yang bersumber dari barat termasuk
hukumnya, sehingga isu hukum adat tetap kuat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan
hukum nasional. Keadaan ini ditambah pula dengan pernyataan Sukarno tanggal 5
Juli 1956 yang menyatakan “Revolusi Belum Selesai”.
Pada awal tahun 1960, pemerintah
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan hukum adat, yaitu :
Pemerintah pada waktu itu mengeluarkan Tap
MPR No II/1960 yang menyatakan Hukum adatlah yang dijadikan landasan atau dasar
pembentukan hukum nasional.
Dikeluarkan pula UU No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan dasar Pokok-pokok agraria. Perhatikan Pasal 5 yang berbunyi :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi,
air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
Kemudian diaktifkannya kembali LPHN tahun 1961 (LPHN
dibentuk tahun 1958).Tugas LPHN yaitu “Berupaya untuk menciptakan kodifikasi
dan unifikasi hukum nasional yang bersumber dari hukum adat, namun tetap
mengarahkan para upaya pemodernan hukum, agar dapat diterima oleh dunia
internasional.
Hukum Adat
pada masa orde baru
Pada masa orde baru yang menjadi prioritas
adalah pembangunan sektor ekonomi. Rule of law dijalankan namun dengan satu
tujuan yaitu untuk peningkatan ekonomi semata – mata. Prinsip yang berkembang
adalah “ekonomi Indonesia
tidak akan bangkit tanpa bantuan asing”. Asing tidak akan mau menanamkan modal
di Indonesia, jika tidak dijamin oleh sektor hukum. Akibatnya hukum harus
benar-benar dijalankan. Sehingga muncul istilah tool of social enginering.
Hal ini tentu berpengaruh pada hukum yang
ada. Untuk mendukung peningkatan ekonomi tersebut, maka hukum harus sesuai
dengan asing, secara otomatis hukum yang dijadikan sumber adalah hukum barat,
namun hukum adat tetap digunakan bersama – sama dengan hukum barat. Di era itu
hukum banyak yang bersumber dari barat yang masuk ke Indonesia. Misalnya lembaga –
lembaga hukum yang bersumber dari Amerika yang sama sekali tidak dikenal dalam
sistem hukum adat. Peristiwa yang menonjol pada waktu itu adalah dikeluarkannya
Tap MPR No. XX/1966 Tentang hirarki perundang-undangan dan sumber tertib hukum.
Dari produk hukum di atas, terlihat bahwa peran eksekutif terlihat lebih
menonjol dari legislatif.
Hukum Adat pada masa era Reformasi
Kemudian berlanjut pada era reformasi, di
era ini timbul keinginan untuk meninggalkan rasa kejenuhan yang selama ini
telah diciptakan. Khusus dibidang hukum rasa kejenuhan itu adalah kejenuhan
terhadap produk hukum yang sumbernya dari atas (Top Down), sehingga ada
keinginan hukum itu bersumber dari bawah (Bottom Up). Kemudian adanya keinginan
untuk perubahan secara cepat dan dapat diberlakukan seketika, temasuk dibidang
hukum. Akibatnya, hukum yang diciptakan bersifat pragmatis (hanya untuk
kepentingan sesaat) dan bukan dogmatis.
Pada era reformasi ini telah terjadi empat
kali amandemen UUD 1945. Pasal yang berkenaan dengan hukum adat mulai
dimasukkan dalam Pasal Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28 ayat 3 UUD 1945 amandemen
kedua dan belum mengalami perubahan hingga amandemen keempat. Namun, konsep
masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Lebih lanjut pengaturan mengenai
masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah satu kategori
pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Menurut MK, suatu kesatuan
masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual
existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat
fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur
1.
Adanya masyarakat yang
masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling)
2.
Adanya pranata
pemerintahan adat
3.
Adanya harta kekayaan
dan/atau benda-benda adapt
4.
Adanya perangkat norma
hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial
juga terdapat unsur
5.
Adanya wilayah tertentu.
MK juga berpendapat bahwa kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut :
Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang
yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal
dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun
bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain
maupun dalam peraturan daerah;
Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan
dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat
yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
MK kemudian menyatakan bahwa suatu
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan
hukum, yaitu keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pemikiran mengenai peranan
hukum adat dalam pembentukan hukum nasional sudah ada sebelum Indonesia merdeka, namun pada saat
itu pemikiran tersebut belum dapat diaplikasikan dalam bentuk peraturan. Awal
penerapan pemikiran tersebut baru terlihat di awal tahun 1960 dengan
dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat hukum
adat sempat terlupakan, namun di era sekarang, negara mulai memperhatikan lagi
hak-hak masyarakat adat yang sudah terabaikan.
Daftar Pustaka
Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia,
Alumni, Bandung,
1983.
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Alumni, Bandung, 1979.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda