keadilan agraria

Minggu, 29 Desember 2013

Hukum Pidana Dalam kodifikasi



Kejahatan Terhadap Tubuh, Pidophilia

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Di dalam kehidupan bermasyarakat, akan sering kita temui perilaku-perilaku individual maupun kelompok yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Kita sebagai individu yang hidup bermasyarakat secara sadar maupun tidak sadar pasti pernah melakukan perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial. Dari penyimpangan sosial yang ada maka hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya keseimbagan hidup bermasyarakat. Penyimpangan atau deviation atau perilaku yang menyimpang dapat dikatakan sebagai pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat. Perilaku menyimpang dapat dikategorikan ringan atau berat sesuai dengan penyimpangan sosial yang dilakukan. Menurut James W. Van Der Zanden, penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi. Dan menurut Robert M. Z. Lawang, penyimpangan perilaku adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Penyimpangan sosial yang sering terjadi di kehidupan bermasyarakat, menurut Lemert dapat dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu penyimpangan primer (Primary Deviation) dan penyimpangan sekunder (Secondary Deviation). Penyimpangan primer ini mempunyai ciri-ciri bersifat sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang, dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Dengan kata lain, penyimpangan primer merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang namun kehadirannya di tengah masyarakat masih dapat diterima. Contoh bentuk penyimpangan primer ini antara lain : telat membayar iuran pajak, buang sampah sembarangan, ngebut di jalanan, dan sebagainya. Penyimpangan sekunder berbeda dengan penyimpangan primer karena pelaku penyimpangan ini kehadirannya tidak dapat lagi diterima lagi oleh masyarakat. Penyimpangan sekunder merupakan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang secara berulang dan kehadirannya tidak dapat diterima lagi oleh masyarakat. Pada umumnya. Salah satu contoh misalnya penyimpangan seksual, Penyimpangan seksual merupakan gangguan perkembangan psikoseksual atau penyelewengan fungsi seksual. Penyimpangan bisa terjadi karena adanya faktor genetik (keturunan), pengaruh lingkungan, adanya trauma psikologis dan moral yang rendah. Di masyarakat terdapat banyak sekali penyimpangan seksual, salah satunya yaitu pedophilia.

Dari latar belakang diatas penulis tertarik mengambil judul, Kekerasan Seksual terhadap anak atau Pidophilia”
Maksud dan tujuan
1.      Untuk mengetahui tingkat ancaman kejahatan seksual terhadap anak ( Pidophilia)
2.      Untuk mengetahui dan cara menghindari kejahatan seksual terhadap anak (Pidophilia) dilingkungan kita
3.      Bagaimanakah kejahatan seksual terhadap anak dalam kajian etika, norma dan moralitas.







BAB II
PEMBAHASAN

I. 1 Pengertian Pedophilia
Pedophilia menurut Sawitri Supardi Sadarjoen, adalah cinta kepada anak, akan tetapi terjadi perkembangan kemudian, sehingga secara umum digunakan sebagai istilah untuk menerangkan salah satu kelainan perkembangan psikoseksual dimana individu memiliki hasrat erotis yang abnormal terhadap anak-anak. Pedophilia terjadi dikarenakan adanya tatanan moral dan etika yang rendah dari pelaku pedophilia (Pedophil). Pelaku pedophilia (pedophil), menjerat korbannya (anak-anak) dengan cara memaksa, merayu, mengancam, ataupun memberi imbalan, sehingga pelaku dapat melakukan hubungan seks dengan anak. Pedophilia terdiri dari dua jenis, yaitu pedophilia heteroseksual dan pedophilia homoseksual. Pedophilia heteroseksual terjadi pada individu berbeda jenis sedangkan pedophilia homoseksual terjadi pada individu sejenis.

Pelaku pedophilia (pedophil) adalah pria atau wanita yang telah berumur. Pedophilia terjadi karena kecenderungan kepribadian antisosial yang ditandai dengan hambatan perkembangan pola seksual yang matang disertai oleh hambatan perkembangan moral dan tatanan etika yang rendah.

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
1.        Nondiskriminasi
2.         Kepentingan yang terbaik bagi anak
3.         Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan bagi anak
4.        Penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Pasal 80
  1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 
  2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 
  3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Pasal 81
  1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
  2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

I. 2 Untuk mengetahui tingkat ancaman kejahatan seksual terhadap anak (Pidophilia)
Data Indonesia Police Watch (IPW) ditahun 2013 menyebutkan sebagian besar korban perkosaan berusia 1-16 tahun sebanyak 23 orang dan usia 17-30 tahun sebanyak enam orang. Sedangkan pelaku perkosaan berusia 14-39 sebanyak 32 orang. Pelaku berusia 40-70 tahun ada 12 orang. Lokasi perkosaan sebagian besar terjadi di rumah korban (21 kasus) dan enam kasus terjadi di jalanan. Data ini menunjukkan rumah sendiri ternyata tidak aman bagi korban. Sebab dalam kasus ini, pelaku perkosaan terdiri dari tetangga delapan orang, keluarga atau orang dekat tujuh orang, teman empat orang, ayah kandung tiga orang dan ayah tiri dua orang orang. Jawa Barat menempati urutan pertama daerah rawan perkosaan di sepanjang Januari dengan delapan kasus. Selanjutnya, Jakarta lima kasus, Jawa Tengah lima kasus dan Jawa Timur tiga kasus. IPW mendata, maraknya angka perkosaan ini karena semakin mudahnya masyarakat mengakses film-film porno, baik melalui internet maupun lewat ponsel. Sebab sebagian besar pelaku perkosaan kepada polisi mengaku mereka melakukan aksinya karena terangsang setelah melihat film-film porno. Ketua Presidium IPW Neta S Pane menilai lembaga hukum di Indonesia tidak berfungsi dengan baik. Para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim tidak menjalankan tugasnya dengan baik, terutama dalam menghukum pelaku perkosaan sehingga tidak ada efek jera.  "Ketika satu kasus perkosaan tidak dengan cepat diungkap dan dituntaskan oleh polisi, kasus itu akan menjadi tren di kalangan pelaku. Hal ini terlihat dari kasus perkosaan massal yang dilakukan para pelajar. Di tahun 1980-an, Jakarta juga pernah dilanda tren perampokan yang disertai perkosaan," ujar Neta, Senin (28/1). Redaktur: Djibril Muhammad, Reporter: Ani Nursalikah.      

I. 4 Untuk mengetahui dan cara menghindari kejahatan seksual terhadap anak (Pidophilia) dilingkungan kita
Tidak menutupi kasus-kasus seperti ini menimpa keluarga kita, untuk itu sebagai orang tua mutlak meningkatkan kewaspadaan tersebut, waspada pada keluarga, kerabat atau saudara, teman atau tetangga karena tidak sedikit kasus kekerasan seksual pada anak di lakukan oleh orang dilingkungan sekitar. Selain waspada perlu di lakukan pencegahan agar kasus tersebut tidak terjadi.

Pencegahan sejak dini yang perlu dilakukan diantaranya adalah:  

  1. Selalu memberitahukan kepada anak untuk tidak mudah menerima makanan atau uang dari orang lain
  2. Jika anak pergi bermain harus sepengetahuan dan seizin orang tua, pengawasan orang tua ketika anak bermain mutlak dilakukan
  3. Pilih pakaian anak yang tidak mengundang rangsangan untuk melakukan tindakan pelecehan seksual
  4. Tidak melihat tayangan atau gambar yang bersifat pornografi pada anak

Jika sibuk sebaiknya anak dititipkan pada orang yang dipercaya misalnya orang tua dan tidak sembarangan memberikan anak untuk diasuh orang lain, tentunya masih banyak lagi yang perlu dilakukan oleh orang tua untuk terjadinya kekerasan seksual pada anak. Sebagai orang tua satu hal yang harus diperhatikan adalah mengetahui kondisi sosial lingkungan dan perkembangan anak itu sendiri

I. 5 Bagaimanakah kejahatan seksual terhadap anak (Pidophilia) dalam kajian etika, norma dan moralitas
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku pemerkosaan merupakan pelanggaran atika, norma dan moralitas yang terjadi di Negara bahkan didunia. Kejahatan seksual bisa dikatakan kejahatan kemanusiaan yang amat biadab, karena korbanya akan menderita seumur hidup dan trauma yang berkepanjangan apabila tidak adanya penenganan dari pihak-pihak yang terkait.

Pelaku kejahatan seksual pada anak mencirikan mereka tidak mempunyai moral yang baik, kerena anak adalah titipan dan amanah yang harus dijaga dan dilindungi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara bahkan sampai tingkat dunia seperti yang tercantum didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ini

Dalam ajaran agama pun di ajarkan tentang perlindungan yang amat penting terhadap anak, betapa mulia dan berharganya kedudukan anak menjadikan anak adalah prioritas terpenting bagi keberlangsungan kehidupan yang lebih baik, kalau generasi kita diperlakukan dengan kekerasan,dan trauma yang membawanya  sampai dia dewasa maka kedepan anak-anak bangsa ini tidak memiliki prioritas masa depan yang baik.











BAB II
KESIMPULAN


II. 1 Kesimpulan
            Tahun 2013 ancaman kejahatan seksual pada anak semakin meningkat, diawal tahun ini Negara, masyarakat Indonesia bahkan dunia dikejutkan dengan makin maraknya pemerkosaan, pelecehan seksual, dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku bahkan sebelum dibunuh diperkosa terlebih dahulu.

Media massa baik cetak maupun elektronik semakin intens memberitakan tentang kejadian–kejadian pemerkosaan, kemanan dan kenyamananan sudah tidak lagi dirasakan oleh masyarakat Indonesia apalagi yang mempunyai anak perempuan remaja bahkan balita merasakan kecemasan akan keselamatan anak-anaknya.

            Pemerintah selaku pemangku kebijakan mempunyai kewajiban melindungi warganya terhadap berbagai ancaman dan teror yang menghantui masyarakat. Sesuai dengan undang –undang dimana Negara menjamin keamanan dan ketentraman setiap warganya, serta undang-undang perlindungan anak , dimana Negara melindungi keamanan anak-anak Indonesia dari bahaya-bahaya yang mengancam.

            Keluarga diharapkan senantiasa waspada dan lebih memperhatikan lagi akan menjaga anak-anaknya, karena ancaman kejahatan seksual bisa terjadi dimana saja baik dari lingkungan keluarga, bahkan masyarakar sekitar kita.

II. Saran dan Rekomendasi
  1. Pemerintah harus lebih tegas terhadap pelaku kasus pemerkosaan pada anak.
  2. Perlunya pembinaan akhlak dengan mengadakan pengajian, dan kagiatan-kagiatan sosial lainya bagi masyarakat untuk merubah prilaku-prilaku buruk yang meuncul dikalangan masyarakat
  3. Sosialisasi dan perlindungan hukum bagi korban dalam memulihkan rasa traumanya psikisnya dan anak kembali normal dalam lingkungan sosialnya
  4. Ruang-ruang publik perlu diperketat lagi keamanannya agar menghindari pelecehan seksual





Daftar Pustaka
http///www.kompas.co.id
http///www. Republika.co.id
http/www.tempo.co.id










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda